Mungkin sepenggal cerita bagi orang-orang yang terjaga, yang menekuri malam untuk mengagungkanNya. Seperti malam itu. Udara sejuk, lembut dan wangi. Sinar rembulan merembes ranting dedaunan, membia
skan
cahaya kuning pucat pada kaki seorang lelaki paruh baya. Ia bersandar
di bawah setanggul pohon tua. Di matanya denting keletihan hidup pecah
bergelombang, lalu melebur membentuk pusara harapan bagi buah hatinya
seorang.
Gadis kecilnya berdiri tak jauh dari situ. Berjalan pelan-pelan, menikmati desir angin yang membelai hamparan ilalang. Ia mengenakan gaun beludru biru pekat berenda putih yang menghiasi kulitnya yang pucat, terpantulkan cahaya bulan. Embun membuat rumput berkilau-kilau. Sepasang kaki mungilnya menjejak dan mendesak-desak, tenggelam di rerumputan yang basah. Sebelum membungkuk dan melepas sepatu hitam yang terbuat dari kulit. Sepatu dipegang erat dengan satu tangannya. Ia tahu kalau ia masuk rumah dengan kaki kotor, seperti biasa ibunya akan marah. Lalu mengeluh, "betapa susah menasehati anak kecil." Namun ia bangga menjadi anak kecil, karena ia dapat menelan kebisuan tanpa kedustaan.
Di ujung sana Ayahnya hanya melihat langkah-langkahnya yang ringan seakan terbang melayang. Entah berkejar dengan apa. Mungkin sesuatu yang tidak terlihat indra, sesuatu yang membuatnya ceria, imaji kanak-kanaknya. Ketika ia bertanya;
"Apa ayah benar-benar melihatnya?"
Ayahnya hanya tersenyum, sekalipun ia sebenarnya terperanjat, lalu ia bertanya sambil meneruskan bacaannya.
"Kamu bicara apa, nak?"
"Bulan itu. Apakah Ayah melihatnya?"
Ia menunjuk ke atas. Ayahnya tersenyum lagi. Kerena tak begitu mengerti maksudnya, Ayahnya hanya menyahut;
"Ayah tak bisa melihatnya dari bawah pohon".
"Tak apa", katanya. "Akan kupindahkan bulan, sehingga Ayah dapat melihatnya"
Rona wajah Ayahnya berubah dalam sekejab. "Kamu tidak bisa memindahkan bulan. Ia terlalu tinggi untukmu"
"Tentu saja aku bisa" ia bicara dengan keras, menyentak-nyentakkan kakinya ke tanah. Kedustaan macam apa yang dibuat oleh orang dewasa, ketika mereka merasa asing terhadap dirinya sendiri. Mimpi-mimpi apakah yang dapat menembus wajah-wajah renta ini, yang mencari alasan untuk terus bersembunyi atas nama sepotong realita yang selalu menghantui. Realita yang telah membuat mereka kehilangan jati diri.
"Lihat ini," ia berjalan menyusuri rerumputan sambil menengadah ke langit, yang menurutnya, itu menarik bulan menjauh dari pohon.
"Bulan itu mengikutiku" ujarnya merasa yakin.
Seketika Ayahnya terhenyak dan berdiri dari duduknya, berjalan menjauhi pohon. Ia nyadari kekeliruannya. Inilah untuk kesekian kali anaknya menunjukkan warna-warni imajinasi dengan pensil keluguan. Ia menatap nanap wajah anaknya.
"Ya, Ayah dapat melihatnya sekarang"
Senja hari itu indah. Bulan hampir penuh, menyisakan satu sisi yang masih tertutup bayangan.
"Mengapa bulan itu selalu mengikutiku, Yah?" ia bertanya dengan penuh percaya diri. Ayahnya tidak menjawab, membisu tertegun gagu. Hanya sebuah tatapan beku yang tenggelam dalam alam bawah sadar yang absurb, seribu jawab membentur dinding-dinding hatinya. Lalu terpantul kembali dan tenggelam ke lubuk hatinya yang terdalam. Ia sadar tidak mungkin menjelaskan logika paradigma pada putri bungsunya yang baru berumur 5 tahun.
Kata orang, Jika kau ingin anakmu pintar ceritakan dongeng untuknya, dan jika kau ingin mereka pintar, ceritakan lagi dongeng untuknya.
"Bulan itu menunggu untuk kau tangkap" jawab Ayahnya pada akhirnya. Gadis kecil itu mengerutkan kening, lalu bertanya lagi, "Apakah aku bisa menangkapnya?"
Ayahnya langsung menyahut. "Tentu saja bisa." Hhhh, bola mata anaknya membulat. "Benarkah? bagaimana caranya Yah?"
"Coba lihat kemari," Ayahnya menuntun tangan mungilnya perlahan-lahan. Lihat ilalang itu, ia tidak lebih tinggi darimu kan?" ia mengangguk. "Tapi ilalang itu sanggup menggapai bulan" Ayahnya berkata dengan bangga.
"Sini...sini...,coba lihat kemari" Lalu Ayahnya merunduk dan mengajaknya tenggelam dalam rumpun ilalang yang menjulang. Ia mengikuti saja tanpa sepenuhnya mengerti apa maksud sang Ayah.
Tapi, Dia tahu sekarang, dia percaya Ayahnya. Di sini, di balik rimbunan ilalang ini, ia hanya melihat sepotong bulan di atas langit yang kelam, dan ilalang yang menjulur-julur menusuknya dari bawah.
Ayahnya tersenyum dan berkata, "Sekarang kau percaya kan?"
Ia menatap wajah Ayahnya, seolah membenarkan. Kemudian Ayahnya mengajaknya berdiri lagi dan menganggkat tubuhnya yang mungil di bahunya, dan menggendongnya. Dia biarkan gadis kecilnya itu duduk di bahunya untuk beberapa lama, lalu ia berkata :
"Anakku... jika kau besar nanti, kau harus mempunyai sebuah impian. Impian yang tinggi dan tinggi sekali, seperti bulan itu. Seolah-olah engkau tidak bisa mencapainya, tapi sebenarnya engkau bisa."
Gadis kecilnya mengangguk-angguk, entah mengerti entah tidak. Ayahnya melanjutkan. "Nanti, engkau akan melihat banyak orang menyangsikanmu untuk menggapainya. Seperti engkau menyangsikan ilalang itu, tapi percayalah sebenarnya engkau bisa" ia berhenti sejenak, "Anakku, Ayah tidak tahu berapa lama lagi Ayah bisa menemanimu dan terus membantumu menggapai impianmu, namun kalaupun nanti kau sendiri, kau harus kuat. Kau harus yakin bahwa kau bisa menggapainya, meski tanpa Ayah. Kau mengerti kan? Coba ulurkan tanganmu ke atas"
Di atas mereka langit sangat luas, hanya sepotong bulan yang tersisa. Ketika menengadah dan menjulurkan tangan di atas bahu Ayahnya, sekali lagi ia tahu: Ayahnya benar.
"Aku percaya Yah, Aku bisa manangkap bulannya... Aku bisa menangkap bulannya!!!"
Ia berteriak-teriak kegirangan.
***
Jauh sebelum semua diungkap, Ayahku telah mengajarkan perspektif dan persepsi. Mengasah ketajaman bashirah hati, menangkap keabstrakan paradigma deklaratif. Dan aku masih tetap di sini melihat bulan, meski tanpa Ayahku. Sama seperti enam belas tahun yang lalu. Bulan yang sama yang kusaksikan di saat kecilku, yang sama yang disaksikan orang di seluruh dunia. Dan mungkin juga disaksikan oleh seseorang yang jauh di belahan bumi sana atau yang dekat di sini.
Bulan terang sepenuh lingkaran. Cahanya indah menantang kita keluar malam, untuk menatap. Dia sangat memikat, dan aku sungguh tercekat. Hingga terbentur pada sebuah paradigma yang diajarkannya. Yang terpenting dalam hidup adalah bagaimana cara kita memandang hidup. Sesuatu yang terlihat tinggi, sebenarnya tidak terlampau tinggi untuk dicapai. Semua tergantung dari sudut mana kita memandangnya, itu pesan Ayah. Seperti bulan itu, kucoba membaca cerita kehidupan yang dilukis olehnya, saat purnama kuning pucat terangi kami dengan pendar-pendar imajinasi enam belas tahun yang lalu. Biarkan kami bangkit dari tidur kami yang lelap. Melerai mimpi menuai kehidupan. Karena di sana kami menyaksikan : Bulan tertusuk ilalang.
Salam cinta buat Ayah yang telah memberi banyak cerita di masa kecilku. Ayah, terimalah ungkapan terima kasihku yang terdalam, yang tak kan pernah cukup untuk membalas segala jasa yang engkau berikan.
Gadis kecilnya berdiri tak jauh dari situ. Berjalan pelan-pelan, menikmati desir angin yang membelai hamparan ilalang. Ia mengenakan gaun beludru biru pekat berenda putih yang menghiasi kulitnya yang pucat, terpantulkan cahaya bulan. Embun membuat rumput berkilau-kilau. Sepasang kaki mungilnya menjejak dan mendesak-desak, tenggelam di rerumputan yang basah. Sebelum membungkuk dan melepas sepatu hitam yang terbuat dari kulit. Sepatu dipegang erat dengan satu tangannya. Ia tahu kalau ia masuk rumah dengan kaki kotor, seperti biasa ibunya akan marah. Lalu mengeluh, "betapa susah menasehati anak kecil." Namun ia bangga menjadi anak kecil, karena ia dapat menelan kebisuan tanpa kedustaan.
Di ujung sana Ayahnya hanya melihat langkah-langkahnya yang ringan seakan terbang melayang. Entah berkejar dengan apa. Mungkin sesuatu yang tidak terlihat indra, sesuatu yang membuatnya ceria, imaji kanak-kanaknya. Ketika ia bertanya;
"Apa ayah benar-benar melihatnya?"
Ayahnya hanya tersenyum, sekalipun ia sebenarnya terperanjat, lalu ia bertanya sambil meneruskan bacaannya.
"Kamu bicara apa, nak?"
"Bulan itu. Apakah Ayah melihatnya?"
Ia menunjuk ke atas. Ayahnya tersenyum lagi. Kerena tak begitu mengerti maksudnya, Ayahnya hanya menyahut;
"Ayah tak bisa melihatnya dari bawah pohon".
"Tak apa", katanya. "Akan kupindahkan bulan, sehingga Ayah dapat melihatnya"
Rona wajah Ayahnya berubah dalam sekejab. "Kamu tidak bisa memindahkan bulan. Ia terlalu tinggi untukmu"
"Tentu saja aku bisa" ia bicara dengan keras, menyentak-nyentakkan kakinya ke tanah. Kedustaan macam apa yang dibuat oleh orang dewasa, ketika mereka merasa asing terhadap dirinya sendiri. Mimpi-mimpi apakah yang dapat menembus wajah-wajah renta ini, yang mencari alasan untuk terus bersembunyi atas nama sepotong realita yang selalu menghantui. Realita yang telah membuat mereka kehilangan jati diri.
"Lihat ini," ia berjalan menyusuri rerumputan sambil menengadah ke langit, yang menurutnya, itu menarik bulan menjauh dari pohon.
"Bulan itu mengikutiku" ujarnya merasa yakin.
Seketika Ayahnya terhenyak dan berdiri dari duduknya, berjalan menjauhi pohon. Ia nyadari kekeliruannya. Inilah untuk kesekian kali anaknya menunjukkan warna-warni imajinasi dengan pensil keluguan. Ia menatap nanap wajah anaknya.
"Ya, Ayah dapat melihatnya sekarang"
Senja hari itu indah. Bulan hampir penuh, menyisakan satu sisi yang masih tertutup bayangan.
"Mengapa bulan itu selalu mengikutiku, Yah?" ia bertanya dengan penuh percaya diri. Ayahnya tidak menjawab, membisu tertegun gagu. Hanya sebuah tatapan beku yang tenggelam dalam alam bawah sadar yang absurb, seribu jawab membentur dinding-dinding hatinya. Lalu terpantul kembali dan tenggelam ke lubuk hatinya yang terdalam. Ia sadar tidak mungkin menjelaskan logika paradigma pada putri bungsunya yang baru berumur 5 tahun.
Kata orang, Jika kau ingin anakmu pintar ceritakan dongeng untuknya, dan jika kau ingin mereka pintar, ceritakan lagi dongeng untuknya.
"Bulan itu menunggu untuk kau tangkap" jawab Ayahnya pada akhirnya. Gadis kecil itu mengerutkan kening, lalu bertanya lagi, "Apakah aku bisa menangkapnya?"
Ayahnya langsung menyahut. "Tentu saja bisa." Hhhh, bola mata anaknya membulat. "Benarkah? bagaimana caranya Yah?"
"Coba lihat kemari," Ayahnya menuntun tangan mungilnya perlahan-lahan. Lihat ilalang itu, ia tidak lebih tinggi darimu kan?" ia mengangguk. "Tapi ilalang itu sanggup menggapai bulan" Ayahnya berkata dengan bangga.
"Sini...sini...,coba lihat kemari" Lalu Ayahnya merunduk dan mengajaknya tenggelam dalam rumpun ilalang yang menjulang. Ia mengikuti saja tanpa sepenuhnya mengerti apa maksud sang Ayah.
Tapi, Dia tahu sekarang, dia percaya Ayahnya. Di sini, di balik rimbunan ilalang ini, ia hanya melihat sepotong bulan di atas langit yang kelam, dan ilalang yang menjulur-julur menusuknya dari bawah.
Ayahnya tersenyum dan berkata, "Sekarang kau percaya kan?"
Ia menatap wajah Ayahnya, seolah membenarkan. Kemudian Ayahnya mengajaknya berdiri lagi dan menganggkat tubuhnya yang mungil di bahunya, dan menggendongnya. Dia biarkan gadis kecilnya itu duduk di bahunya untuk beberapa lama, lalu ia berkata :
"Anakku... jika kau besar nanti, kau harus mempunyai sebuah impian. Impian yang tinggi dan tinggi sekali, seperti bulan itu. Seolah-olah engkau tidak bisa mencapainya, tapi sebenarnya engkau bisa."
Gadis kecilnya mengangguk-angguk, entah mengerti entah tidak. Ayahnya melanjutkan. "Nanti, engkau akan melihat banyak orang menyangsikanmu untuk menggapainya. Seperti engkau menyangsikan ilalang itu, tapi percayalah sebenarnya engkau bisa" ia berhenti sejenak, "Anakku, Ayah tidak tahu berapa lama lagi Ayah bisa menemanimu dan terus membantumu menggapai impianmu, namun kalaupun nanti kau sendiri, kau harus kuat. Kau harus yakin bahwa kau bisa menggapainya, meski tanpa Ayah. Kau mengerti kan? Coba ulurkan tanganmu ke atas"
Di atas mereka langit sangat luas, hanya sepotong bulan yang tersisa. Ketika menengadah dan menjulurkan tangan di atas bahu Ayahnya, sekali lagi ia tahu: Ayahnya benar.
"Aku percaya Yah, Aku bisa manangkap bulannya... Aku bisa menangkap bulannya!!!"
Ia berteriak-teriak kegirangan.
***
Jauh sebelum semua diungkap, Ayahku telah mengajarkan perspektif dan persepsi. Mengasah ketajaman bashirah hati, menangkap keabstrakan paradigma deklaratif. Dan aku masih tetap di sini melihat bulan, meski tanpa Ayahku. Sama seperti enam belas tahun yang lalu. Bulan yang sama yang kusaksikan di saat kecilku, yang sama yang disaksikan orang di seluruh dunia. Dan mungkin juga disaksikan oleh seseorang yang jauh di belahan bumi sana atau yang dekat di sini.
Bulan terang sepenuh lingkaran. Cahanya indah menantang kita keluar malam, untuk menatap. Dia sangat memikat, dan aku sungguh tercekat. Hingga terbentur pada sebuah paradigma yang diajarkannya. Yang terpenting dalam hidup adalah bagaimana cara kita memandang hidup. Sesuatu yang terlihat tinggi, sebenarnya tidak terlampau tinggi untuk dicapai. Semua tergantung dari sudut mana kita memandangnya, itu pesan Ayah. Seperti bulan itu, kucoba membaca cerita kehidupan yang dilukis olehnya, saat purnama kuning pucat terangi kami dengan pendar-pendar imajinasi enam belas tahun yang lalu. Biarkan kami bangkit dari tidur kami yang lelap. Melerai mimpi menuai kehidupan. Karena di sana kami menyaksikan : Bulan tertusuk ilalang.
Salam cinta buat Ayah yang telah memberi banyak cerita di masa kecilku. Ayah, terimalah ungkapan terima kasihku yang terdalam, yang tak kan pernah cukup untuk membalas segala jasa yang engkau berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar