Terlalu berat malah untuk ukuran kami yang masih belajar membina rumah tangga.
Tapi kami yakin, Allah tak akan menguji kami diluar batas kemampuan kami. Dan kami yakin, bahwa kami bisa melewatinya dengan penuh kesabaran serta keikhlasan.
Tiga hari kemarin, aku pe
rgi ke pasar dengan naik motor diantar Mas Faisal, suamiku.
Sepulangnya, tiba-tiba seorang anak kecil melintas di tengah jalan. Kontan, secara reflek Mas Faisal membanting setir untuk menghindari anak kecil tersebut.
Dari sinilah ujian Allah kepada kami bermula. Beruntunglah anak kecil tersebut bisa kami hindari. Begitu pula dengan aku.
Tapi yang menimpa Mas Faisal, suamiku? Ia sempat terlindas sebuah mobil yang tiba-tiba datang dari arah depan. Ia mengalami patah tulang betisnya. Dan ada pergeseran sendi pada lututnya. Dan Dokter telah memvonis Mas Faisal akan ada cacat permanen pada kakinya. Bahkan Dokter mewanti-wanti aku sebagai isterinya, agar tabah menghadapi hal yang paling buruk sekalipun. Yaitu bisa mengakibatkan kelumpuhan.
"Ya Allah. Separah itukah Suamiku?" ratapku dalam hati.
"Dinda, kenapa menangis?" teguran Mas Faisal membuyarkan lamunanku.
Aku memang masih setia menemani Mas Faisal yang kini terbaring lemah di rumah sederhana kami.
"Ah, nggak kok Mas. Cuma mataku rada perih. Mungkin karena kurang tirahat." sembari tersenyum aku mencoba menyembunyikan apa yang tengah kupikirkan kepada Mas Faisal.
"Dinda yakin?"
"Yakin kok Mas. Mas gak perlu kuatirin dinda ya. Sekarang Mas tirahat. Dinda mau beres-beres rumah dulu." kataku meyakinkan Mas Faisal, suamiku.
Ia menatapku dengan tatapan nanar. Tampak sekali betapa pucatnya wajah Mas Faisal. Keliahatan ada suatu beban di matanya. Sesuatu beban yang tak pernah kulihat pada hari-hari sebelumnya.
"Dinda, kemari sebentar."
Bergegas aku menghampirinya seraya mengusap kelingat yang mulai mengucur di keningnya.
"Ada apa mas?" sahutku perlahan.
"Dinda dengarlah. Aku mencintai dinda. Menyayangi dinda dengan segenap rasa hatiku yang paling dalam. Aku ingin hidup Dinda bahagia. Aku tak ingin Dinda hidup dalam sebuah penderitaan. Dan aku juga tahu Dinda menyayangiku dengan tulus juga. Sebagai bentuk rasa sayangku pada Dinda, jika pada akhirnya nanti aku tidak bisa sembuh seperti sedia kala, aku rela melepas Dinda dengan ikhlas untuk mencari kebahagiaan bersama yang lain. Aku akan lebih bahagia seandainya nanti Dinda bisa bahagia walau tidak bersamaku lagi. Dan...."
Spontan kudekati Mas Faisal. Kupeluk erat tubuhnya yang lemah itu. Air mataku tumpah tak mampu lagi kubendung. Betapa tulusnya Mas Faisal menyayangiku. Aku tak mampu menjawab kata-kata Mas Faisal. Hanya derai air mata dan ungkapan hati yang mampu aku gumamkan seraya makin memeluk Mas Faisal penuh keharuan.
"Jangan katakan itu lagi Mas. Percayalah, Dinda tak akan meninggalkan Mas hanya karena keadaan ini. Dinda sudah siap lahir batin Mas, akan menjalani sisa hidup ini hanya bersama Mas. Manis pahit, akan dengan ikhlas Dinda jalani. Selalu bersamu Mas. Sepanjang jalan hidup kita berdua."
Semoga bisa diambil hikmahnya untuk kita semua.
Sepulangnya, tiba-tiba seorang anak kecil melintas di tengah jalan. Kontan, secara reflek Mas Faisal membanting setir untuk menghindari anak kecil tersebut.
Dari sinilah ujian Allah kepada kami bermula. Beruntunglah anak kecil tersebut bisa kami hindari. Begitu pula dengan aku.
Tapi yang menimpa Mas Faisal, suamiku? Ia sempat terlindas sebuah mobil yang tiba-tiba datang dari arah depan. Ia mengalami patah tulang betisnya. Dan ada pergeseran sendi pada lututnya. Dan Dokter telah memvonis Mas Faisal akan ada cacat permanen pada kakinya. Bahkan Dokter mewanti-wanti aku sebagai isterinya, agar tabah menghadapi hal yang paling buruk sekalipun. Yaitu bisa mengakibatkan kelumpuhan.
"Ya Allah. Separah itukah Suamiku?" ratapku dalam hati.
"Dinda, kenapa menangis?" teguran Mas Faisal membuyarkan lamunanku.
Aku memang masih setia menemani Mas Faisal yang kini terbaring lemah di rumah sederhana kami.
"Ah, nggak kok Mas. Cuma mataku rada perih. Mungkin karena kurang tirahat." sembari tersenyum aku mencoba menyembunyikan apa yang tengah kupikirkan kepada Mas Faisal.
"Dinda yakin?"
"Yakin kok Mas. Mas gak perlu kuatirin dinda ya. Sekarang Mas tirahat. Dinda mau beres-beres rumah dulu." kataku meyakinkan Mas Faisal, suamiku.
Ia menatapku dengan tatapan nanar. Tampak sekali betapa pucatnya wajah Mas Faisal. Keliahatan ada suatu beban di matanya. Sesuatu beban yang tak pernah kulihat pada hari-hari sebelumnya.
"Dinda, kemari sebentar."
Bergegas aku menghampirinya seraya mengusap kelingat yang mulai mengucur di keningnya.
"Ada apa mas?" sahutku perlahan.
"Dinda dengarlah. Aku mencintai dinda. Menyayangi dinda dengan segenap rasa hatiku yang paling dalam. Aku ingin hidup Dinda bahagia. Aku tak ingin Dinda hidup dalam sebuah penderitaan. Dan aku juga tahu Dinda menyayangiku dengan tulus juga. Sebagai bentuk rasa sayangku pada Dinda, jika pada akhirnya nanti aku tidak bisa sembuh seperti sedia kala, aku rela melepas Dinda dengan ikhlas untuk mencari kebahagiaan bersama yang lain. Aku akan lebih bahagia seandainya nanti Dinda bisa bahagia walau tidak bersamaku lagi. Dan...."
Spontan kudekati Mas Faisal. Kupeluk erat tubuhnya yang lemah itu. Air mataku tumpah tak mampu lagi kubendung. Betapa tulusnya Mas Faisal menyayangiku. Aku tak mampu menjawab kata-kata Mas Faisal. Hanya derai air mata dan ungkapan hati yang mampu aku gumamkan seraya makin memeluk Mas Faisal penuh keharuan.
"Jangan katakan itu lagi Mas. Percayalah, Dinda tak akan meninggalkan Mas hanya karena keadaan ini. Dinda sudah siap lahir batin Mas, akan menjalani sisa hidup ini hanya bersama Mas. Manis pahit, akan dengan ikhlas Dinda jalani. Selalu bersamu Mas. Sepanjang jalan hidup kita berdua."
Semoga bisa diambil hikmahnya untuk kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar